Tampilkan postingan dengan label ARTIKEL ISLAM. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label ARTIKEL ISLAM. Tampilkan semua postingan

Senin, 06 Maret 2023

Sejarah penyusunan mushaf al-qur'an

 

Kita mulai dengan pertanyaan, berapa jumlah ayat dalam Al-Qur’an? 

Beberapa mungkin spontan menjawab 6.666 ayat, namun faktanya jumlah tepatnya 6.236 ayat. 

Hal ini bisa kamu buktikan sendiri dengan menjumlahkan ayat pada setiap surah dalam Al-Qur’an, atau kalau tidak mau repot, tinggal melihat di halaman pengantar mushaf Al-Qur’an cetakan Saudi yang biasa dibawa oleh jamaah setelah menunaikan ibadah haji.


Contoh di atas hanya detail kecil tentang Al-Qur’an yang sering terabaikan. 

Jumlah itu pun bukanlah jumlah absolut. Ada banyak perbedaan pendapat mengenai jumlah ayat Al-Qur’an dengan alasan beragam. 

Misalnya, basmalah pada Surah Al-Fatihah, ada yang memasukkannya sebagai ayat pertama dan ada yang tidak.


Pertanyaan yang muncul selanjutnya, mengapa sampai berbeda? Bukankah Al-Qur’an itu diturunkan Allah Swt. melalui Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad saw.? Apakah ada kesalahan teknis dalam proses itu?


Al-Qur’an memang kitab suci yang harus dikultuskan, tapi bukan berarti tak ada ruang bagi rasio untuk mendekati baik makna maupun sejarahnya. 

Bicara sejarah, biasanya dijelaskan bahwa Al-Qur’an diturunkan dari Lauhulmahfuz ke langit dunia dan kemudian diturunkan berangsur-angsur ke Nabi Muhammad melalui Malaikat Jibril. 

Namun, pernahkah kita bertanya apa yang terjadi pada Al-Qur’an dalam kurun waktu kurang lebih 1.500 tahun jarak antara Nabi dan kita?


Faktanya, perjalanan Al-Qur’an tidak sesederhana lagu anak TPA. 

Merujuk literatur Islam, dijelaskan bahwa dalam 23 tahun masa kerasulan dan dakwah Nabi, sejak diangkat sebagai Rasul berusia 40 tahun, sejak itu juga dimulai sejarah perkembangan Al-Qur’an hingga akhirnya terkumpul dalam bentuk mushaf seperti saat ini. 

Perkembangan Al-Qur’an setidaknya dapat dibagi dalam 3 periode.


Periode penulisan


Pada masa itu Al-Qur’an tidaklah sama dengan apa yang kita lihat sekarang. Awalnya Al-Qur’an hanya hafalan para hafiz di antara sahabat Nabi. 

Masyarakat saat itu memang terkenal dengan kemampuan hafalannya, terbukti dari kebiasaan mereka bersyair saat berkomunikasi. 

Itulah mengapa bahasa Al-Qur’an sering disajikan dalam bentuk sastra dengan memberi analogi atau mengangkat kisah imajinatif maupun cerita umat terdahulu, yakni agar sesuai dengan tabiat umat saat itu.


Di antara banyak hafiz Quran saat itu, yang populer adalah Khulafa al-Rasyidin, Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Mu’awiyah, Ibnu Zubair, Aisyah, Hafsah, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Anas bin Malik, dan lainnya.


Setelah turun ayat demi ayat, Nabi membentuk tim penulis yang mayoritas anggotanya adalah para hafiz serta beberapa sahabat lain untuk menuliskan hafalan mereka secara mandiri. 

Saat itu penulisan dilakukan di pelepah kurma, daun lontar, dan media lain yang tersedia. Metode penulisannya berdasarkan instruksi Nabi mengenai susunan ayat dan letak surahnya.


Tak terbayang kerja keras Nabi dan sahabat dalam menjaga Al-Qur’an. Apa pun yang terbayang di otak kita saat ini, sebagai generasi yang telanjur mengenal ATK, tidak akan betul-betul menggambarkan usaha mereka dengan alat seadanya yang tersedia saat itu.


Salinan Al-Qur’an saat itu tidak terkumpul dalam satu mushaf. 

Catatan yang ada pada satu sahabat belum tentu ada pada sahabat lain. 

Hal ini berlangsung hingga Nabi SAW wafat karena hingga akhir hayatnya, sahabat masih senantiasa menantikan ayat yang turun untuk kemudian dicatat.


Pengumpulan Al-Qur’an qdalam satu mushaf


Inisiatif mengumpulkan Al-Qur’an dalam lembaran-lembaran mushaf dimulai pada masa Khalifah Abu Bakar. 

Asbabnya adalah perang melawan kaum murtad yang dipimpin Musailamah pada tahun 12 Hijriah. 

Di perang itu banyak hafiz gugur sehingga Umar bin Khattab yang visioner dan rasionalis berusul kepada Khalifah Abu Bakar untuk segera menuliskan Al-Qur’an dalam lembaran, agar tidak hilang bersama dengan gugurnya para hafiz.


Ditunjuklah Zaid bin Tsabit menjadi ketua tim penulis mushaf Al-Qur’an. Tentu saja prosesnya dengan syarat dan ketentuan yang sangat ketat. Ayat yang bisa diakui dan dicantumkan dalam mushaf tidak cukup sekadar hafalan, tapi didukung bukti catatan dan bukti itu harus didukung orang yang bersedia bersaksi atas kebenarannya.


Berbeda dengan masa Abu Bakar dan Umar, di masa khalifah ketuga, Utsman bin Affan, Islam telah tersebar di wilayah yang sangat luas hingga ke kawasan non-Arab. Kendala bahasa menjadi faktor utama adanya perbedaan cara membaca Al-Qur’an yang berujung pada saling menyalahkan. Melalui proses yang berliku, dengan panitia yang kembali dipimpin oleh Zaid, penulisan mushaf kembali dilakukan di masa Utsman, bertujuan untuk menyeragamkan bacaan Al-Qur’an.


Pemberian tanda baca


Jika kamu pernah melihat kitab gundul, ketahuilah Al-Qur’an di masa Khalifah Utsman lebih gundul dari itu. 

Jangankan tanda baca, beberapa huruf saja masih sulit dibedakan karena tak ada tanda khusus yang membedakan. Huruf sin dan sya sulit dibedakan karena tak ada titik, begitu juga dengan huruf lain.


Periode ini terjadi pada masa Dinasti Bani Umayyah yang dipimpin oleh Mu’awiyah. Adalah Ziyad bin Abihi yang berusul agar Salinan Al-Qur’an diberi harakat pada huruf. 

Sebagai gubernur Basrah dia sering mendengar kekeliruan bacaan yang berujung pada kesalahan memahami Al-Qur’an.


Orang yang memikul tugas ini adalah Abu al-Aswad al-Duali. 

Atas jasanya, kita mengenal istilah kasrah, fatha, damma, tanwin, dan sistem dua titik pada huruf hijaiyah.

Seni Kaligrafi dan Penulisan Al-Quran


1. Penulisan Wahyu

Al-Quran pada masa kenabian dibawa turun oleh Jibril alaihissalam dalam format suara, tidak berupa teks tulisan di atas lembaran kertas.

Begitu Jibril pergi usai menyampaikan wahyu, Nabi SAW segera meminta para shahabat untuk menuliskan ayat yang baru turun. 

2. Alat Tulis

Kala itu alat tulis yang mereka gunakan masih sederhana sekali. Belum ada kertas seperti yang kita gunakan di masa sekarang.

Maka ayat-ayat suci itu mereka goreskan di beberapa media, seperti gulungan kulit hewan, pelepah kurma, batu pipih atau pun tulang hewan.

3. Supervisi Nabi SAW

Namun yang pasti ayat-ayat suci ditulis di bawah supervisi langsung Nabi SAW. Usai dituliskan, Nabi SAW meminta teks itu dibaca ulang dan dikoreksi bila ada hal-hal yang belum benar. 

Disini rasa penasaran kita ditantang. Kalau Nabi SAW dikatakan ummi, tidak bisa baca tulis, lalu bagaimana Beliau bisa mengoreksi tulisan para shahabat?

Kapan waktu nanti kita bahas khusus bab ini, insyaallah. 

4. Para Penulis Wahyu

Di antara mereka yang tercatat dalam Sirah Nabawiyah menjadi penulis wahyu adalah Zaid bin Tsabit dan Ubay bin Kaab radhiyallahuanhuma. 

Sebenarnya bukan hanya mereka berdua saja, setidaknya ada 46 shahabat.

5. Bangsa Ummi?

Kasus ditulisnya ayat-ayat Al-Quran oleh para shahabat menjadi keunikan tersendiri. Meski di dalam Al-Quran disebutkan bahwa bangsa Arab adalah bangsa yang ummi, tidak membaca dan menulis, namun bukan berarti mereka buta huruf total. 

Sebagian mereka sudah banyak yang mendalami ilmu baca tulis. Ini terbukti dari kebiasaan mereka menuliskan naskah perjanjian di dinding Ka'bah. Bahkan karya para pujangga Arab yang masyhur biasa digantung di dinding Ka'bah.

6. Jenis Huruf Yang Digunakan

Konon di masa itu huruf Arab yang berkembang berasal dari Kufah yang secara teknis wujudnya kotak-kotak . 

Sebelum terjadi perkembangan variasi khat Arab, khat Kufi diyakini para sejarawan sebagai bentuk kaligrafi tertua dari berbagai aksara Arab dan terdiri dari bentuk yang dimodifikasikan dari aksara Nabataea lama. 


Khat Kufi dikembangkan pada akhir abad ke-7 di Kufah, Irak, yang menjadi asal muasal namanya, dan pusat lainnya.

Khat Kufi dikembangkan dari huruf Nabatea, dan sudah dikenal seratus tahun (± 538 M) sebelum berdirinya kota Kufah Mesopotamia. Di masa sekarang Kufah terletak 170 Km selatan Baghdad. 

Pada zaman praislam, huruf ini sudah digunakan di beberapa wilayah Arab, salinan pertama dari Alquran dan Taurat di Arab menggunakan huruf ini.

7. Sulit Kita Baca

Buat kita yang hidup di zaman sekarang, mungkin agak sedikit kesulitan membaca teks Al-Quran asli yang dulu ditulis dengan khat Kufi ini.

Apalagi di masa lalu, belum ada titik yang membedakan beberapa huruf yang berdekatan. 

Contohnya huruf ba' (ب), ta' (ت), tsa' (ث) dan ya' (ي) di masa itu ditulis sama persis, tanpa ada satu pun titiknya. Begitu juga huruf jim (ج), ha' (ح) dan kha' (خ) ditulis sama persis karena belum ada titiknya. 

Buat orang 'ajam non Arab seperti kita, pastilah tidak bisa terbaca. Bahkan setelah disempurnakan pun, khat Kufi tetap sulit dibaca oleh mereka yang pemula dan baru belajar mengeja huruf Arab.

Padahal di masa kenabian dulu, justru seluruh ayat Qur'an ditulis oleh para shahabat dalam format khat Kufi. 

8. Perkembangan Varian Baru Khat Arab

Adapun khat yang akrab di masa kita adalah varian-varian baru hasil pengembangan seni kaligrafi yang cukup kaya dalam tatanan khazanah seni dunia Islam. 

Di dunia Islam hari ini berkembang beberapa jenis khat yang beragam, seperti naskhi, diwani, diwani jali, riq'ah, tsuluts, farisi selain tentu saja Kufi sendiri.

9. Varian Khat Kufi

Namun khat Kufi sendiri menurut saya memang yang paling unik, karena paling berbeda sendiri. 

Sebagai penggemar seni kaligrafi, saya sering juga menulis pakai jenis Kufi. Logo Rumah Fiqih Indonesia (RFI) itu sebenarnya salah satu varian khat Kufi juga. 

Saya tertarik mendisain logo RFI justru karena uniknya. Kira-kira filosofinya kayak tanda tangan. Justru semakin tidak bisa dieja semakin unik. Walaupun tetap bisa dieja dan dibaca, tapi tentunya bukan oleh pemula. 

Ada anak-anak TPA samping rumah yang tanya, itu kok logo RFI tulisannya aneh dan tidak bisa dibaca. Kayaknya ada yang salah deh.

Wah, tidak salah, tapi kalian saja yang belum sampai ilmunya. Teruskan saja dulu ngaji IQRO' nya sampai jilid enam. Nanti kalau sudah bisa baca, baru kita bahas seni kaligrafinya. 

Karakternya yang kotak-kotak simetris itu paling asyik kalau dijadikan logo. Ketertarikan saya pada Khat Kufi ini sejak saya kecil. 

Karena di rumah saya ada pajangan dinding berupa teks surat Al-Ikhlas (Qul Huwallahu Ahad) yang ditulis bergaya Kufi.

Awalnya saya protes ke ibu saya. Ini kok nggak bisa dibaca dan menyalahi kaidah penulisan huruf Arab. Begitu saya protes ke ibu saya. Soalnya beliau lah yang memajang kaligrafi itu.

Lalu ibu saya menerangkan dengan sabar bahwa Kufi ini termasuk aliran khat yang resmi, bahkan sejarah seni aksara Arab justru diawali dengan khaf Kufi.

Lalu ibu saya malah menantang saya untuk menebak satu per saru huruf-hurufnya yang bisa saya kenali. 

Wah ternyata asyik juga, kayak bermain teka-teki. Sejak itulah saya sering mendesain teks Arab pakai gaya Kufi yang unik, indah dan banyak orang tidak paham. 

10. Perkembangan Seni Kaligrafi

Perkembangan jenis khat yang sebegitu banyak kadang kurang diikuti oleh kalangan awam. Sehingga ada beberapa teman saya yang pusing kalau lihat kaligrafi di dinding masjid. 

Maklum lah, mungkin kurang mengikuti seni kaligrafi. Melek huruf Arab pun baru-baru ini saja. Kaligrafi teks Al-Quran di dinding Kiswah Ka'bah pun tidak semua bisa dibacanya. 

Namun kalau kita menoleh ke belakangan menelusuri perkembangan Tehnik penulisan aksara Arab sejak awal mula, boleh jadi akan lucu kejadiannya.

Boleh jadi kalau para shahabat di masa lalu kita culik pakai mesin waktu ke masa sekarang, mereka akan terheran-heran membaca mushaf Al-Quran.  

Saya bisa membayangkan mereka akan kebingungan kalau membaca mushaf Al-Quran versi kita sekarang. Karena jenis font yang kita gunakan hari ini belum pernah ada di masa mereka. 



Wallahu a'lam

1.PEMBUKAAN JALAN PRODUKSI AIR MANAU Bangunan Tahun 2022 Keterangan Nama Kegiatan Pembuka...